Oleh : Syaefudin Simon
Monsanto perusahan raksasa yang memproduksi produk-produk kimia
(pestisida, kosmetik, bahan kimia industri) dan benih rekayasa genetik
(genetically modified organism/GMO) asal Amerika Serikat kembali mendapat
sorotan dunia.
Pers Amerika awal Januari 2005 mengekspose pengakuan Monsanto bahwa
pihaknya melalui anak perusahaannya di Jakarta, PT Monagro Kimia - telah
menyuap 140 pejabat tinggi Indonesia untuk meloloskan produknya (benih kapas
GMO, pestisida merk Roundup, Polaris, dan Spark) di Indonesia sebesar 700.000
dolar AS (Rp 6,5 miliar) sejak tahun 1997 sampai 2002. Pengakuan Monsanto
keluar setelah perusahaan tersebut melakukan audit internal atas permintaan
Departemen Kehakiman dan Badan Pengawas Pasar Modal AS.
Pengakuan Monsanto itu langsung bikin geger nasional. Sejumlah pejabat
dan mantan pejabat yang diduga menerima suap langsung membantahnya. Tidak apa.
Di mana sih ada maling yang mau mengaku? Yang jelas Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPTPK) seperti mendapat durian runtuh. Mereka sebenarnya
tinggal menguliti ''hidangan korupsi'' yang telah disuguhkan Departemen
Kehakiman AS itu. Tak usah repot melacak dan mencari data siapa penyuap dan
siapa yang menerima suap. Pihak Monsanto telah membeberkannya.
Melebar
Persoalannya, sejauh manakah keberanian KPK untuk mengusut tuntas kasus
tersebut? Soalnya bukan perkara mudah mengusut 140 pejabat Indonesi sebagian
besar diduga dari Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Departemen Pertanian,
dan Bappenas yang terindikasi menerima suap Monsanto. Apalagi jika masalahnya
kemudian melebar lagi ke daerah. Bukankah PT Monagro Kimia juga menyuap
sejumlah pejabat daerah yang wilayahnya menjadi contoh penanaman kapas
transgenik produk Monsanto.
Sekadar informasi, kapas transgenik itu pada tahun 2001 ditanam di enam
kabupaten di Sulawesi Selatan: Soppeng, Wajo, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, dan
Gowa. Sesuai SK Menteri Pertanian saat itu, pemerintah menyiapkan lahan 10.000
hektar untuk penanaman kapas transgenik tersebut. Bila hasilnya bagus, kata
Kepala Dinas Perkebunan Sulsel A Makkarasang waktu itu, pihaknya akan menambah
25.000 hektar lagi untuk perluasan penanaman kapas transgenik. Saat itu, pihak
Monsanto menyatakan bibit kapas transgenik (GMO) tersebut punya keunggulan
dibanding bibit kapas konvensional yaitu tahan terhadap hama ulat yang menjadi
momok para petani kapas di Sulawesi.
Dari gambaran di atas, betapa banyaknya pejabat yang terlibat kasus
Monsanto. Jika sampai ke pengadilan, niscaya kasusnya akan makin melebar lagi.
Maklum, biasanya para koruptor tidak ingin masuk penjara sendirian. Mereka
mengajak pelbagai pihak yang akomodatif untuk bisa menikmati hasil korupsinya.
Harapannya, pihak-pihak yang diajak itu akan dapat meringankan hukumannya bila
kasusnya terbongkar. Lantas, siapa yang paling bisa meringankan hukuman, bahkan
membebaskannya?
Biasanya pejabat yang punya kedudukan strategis yang bisa mendikte hukum.
Niscaya Anda tahu siapa-siapa mereka. Itulah yang akan menyulitkan KPTPK dalam
penyelidikannya. Beranikah KPTPK menguliti kasus korupsi Monsanto sampai ke
akar-akarnya? Pertanyaan ini layak kita ajukan karena bukan tidak mungkin,
seperti yang sudah-sudah, KPTPK hanya mencari kambing hitam. Sang raja
korupsinya justru aman!
Tradisi TNC
Sebagai perusahaan raksasa trannational corporation (TNC), Monsanto sudah
lama terkenal karena kemampuan lobi-lobinya untuk meloloskan produk-produknya
di luar negeri, khususnya di negara-negara berkembang. Keberhasilan lobi-lobi
tersebut karena Monsanto tidak hanya mampu menebar uang ke berbagai pihak yang
mempunyai kekuasaan untuk meloloskan produk-produknya di negara sasaran, tapi
juga karena Monsanto mempunyai pelobi-pelobi handal yang notabene merupakan
pejabat tinggi bahkan pembantu presiden di Washington.
Cara memperkuat lobi Monsanto di AS dan mancanegara sama seperti apa yang
dilakukan konglomerat Indonesia. Untuk melancarkan bisnisnya, sebagai contoh,
Monsanto merekrut pejabat tinggi sebagai salah seorang dewan komisaris atau
dewan direkturnya. Tujuannya jelas untuk memperkuat lobi-lobinya dalam memasuki
pasar di dalam maupun luar negeri. Sampai saat ini, misalnya, Monsanto masih
menjadikan Donald Rumsfeld, menteri pertahanan AS, untuk menjabat dewan
direktur dari divisi farmasi perusahaan itu. Bahkan, mantan jaksa Agung AS,
Clearence Thomas pernah tercatat sebagai salah seorang pengacara Monsanto.
Begitu juga mantan menteri pertanian, Anne Veneman, tercatat sebagai salah
seorang dewan direkur Monsanto.
Ibarat kata, organisasi pemerintahan Monsanto seperti ''negara'' dalam
''negara'' di AS sana. Tak heran jika negara-negara berkembang seperti
Indonesia, Thailand, Filipina, dan India misalnya tak sanggup membendung
lobi-lobi Monsanto. Maklumlah, jika Monsanto gagal melobi di tingkat kepala
daerah, pejabat, dan menteri, maka dengan kekuatan lobinya, dia bisa meminta
Washington melobi presiden negara sasaran. Kebiasaan itu sering dirasakan
negara-negara berkembang.
Ingat ketika Dubes AS Ralph L Boyce tahun lalu datang ke Presiden
Megawati Soekarnoputri untuk melindungi pejabat-pejabat PT Newmont, perusahaan
tambang emas asal AS, yang dituduh membuang limbah beracunnya di Teluk Buyat,
Sulawesi Utara. Itulah salah satu ''perlindungan dan lobi'' bagi perusahaan
pertambangan emas transnational Newmont yang ampuh. Hal yang senada dalam kasus
berbeda, niscaya dilakukan pula oleh Monsanto. Maklumlah lobi jalur government
to government ini sangat efektif karena pengaruhnya sangat luas.
Sekarang persoalannya terletak pada keteguhan pejabat-pejabat negara
sasaran Monsanto. Jika pejabat tersebut teguh dan tak terpengaruh lobi
Monsanto, perusahaan ini pun bakal pergi. Di negara-negara Eropa seperti
Jerman, Prancis, dan Italia lobi Monsanto gagal total. Departemen Kesehatan
Itali misalnya secara tegas menolak kehadiran jagung transgenik (GMO) yang
diproduksi Monsanto karena khawatir kandungan kimia dan biologis jagung ini
akan merusak lingkungan dan kesehatan manusia.
Bulan Maret 2001 lalu polisi Itali juga menggrebek kantor Monsanto di
Roma dan mereka menemukan 112 ton bbit jagung transgenik yang siap disebarkan
secara ilegal kepada para petani. Hal yang sama terjadi di Jerman.
Produk-produk bibit transgenik Monsanto dilarang memasuki negeri pembuat mobil
papan atas itu. Dengan melihat sepak terjang Monsanto dan bahaya lingkungan di
masa depan akibat tersebarnya bibit tanaman pangan transgenik (jagung, kedelai,
gandum, kentang, tomat, apel, dan lain-lain) kini Uni Eropa secara tegas
melarang Monsanto menjual bibit-bibit GMO-nya ke sana.
Hilangnya pasar di Eropa tersebut, membuat Monsanto aktif bergerilya ke
negara-negara dunia ketiga, khususnya Asia dan Afrika. Hampir semua negara
Asia, kecuali Jepang, Filipina, dan India yang pendidikannya maju, menerima
rayuan Monsanto. Sejumlah LSM lingkungan yang memperingatkan munculnya tragedi
lingkungan di masa depan akibat pestisida dan bibit transgenik produk Monsanto
diabaikan pemerintah masing-masing. Lobi mereka terlalu kuat dibanding teriakan
LSM.
Di negara-negara yang ''lunak'' ini, Monsanto berkembang pesat. Dia tidak
saja bisa menjual produk-produk kimianya secara bebas di pasar nasional, tapi
juga bisa melobi pejabat-pejabat terkait untuk membuat kebijakan agar para
petani di Indonesia menggunakan bibit tanaman dan pestisida merek tertentu
(Roundup, Polaris, Spark, dan lainnya). Hasilnya, produk Monsanto dipakai luas
para petani di Indonesia yang umumnya mendapat paket kredit (benih dan
obat-obatan) dari pemerintah. Dengan cara seperti itu, Monsanto tidak merasa
rugi jika harus mengeluarkan duit ratusan, bahkan jutaan dolar AS untuk menyuap
pejabat terkait.
Cukupkah sepak terjang Monsanto sampai di situ? Tidak! Dengan kekuatan
uang dan lobinya, Monsanto pun ikut menggolkan pelbagai perundang-undangan yang
akan menguntungkan bisnisnya. Greenpeace, misalnya, menuduh Monsanto telah
membiayai penggolan (penyuksesan) undang-undang privatisasi air, rekayasa
genetik, dan hormon-hormon pertumbuhan. Saat ini masalah-masalah tersebut,
khususnya privatisasi air, sedang menjadi isu hangat di Indonesia.
Setelah sukses mempromosikan ''revolusi hijau'' di Indonesia yang
mengakibatan petani tergantung pada pestisida dan bibit Monsanto, kini
perusahaan yang sama tengah mempromosikan privatisasi air. Yang terakhir ini
pun sudah lolos di DPR, tapi masih menghadapi gugatan hukum oleh sejumlah
aktivis lingkungan di Mahkamah Konstitusi (MK). Jika privatisasi air di MK juga
lolos, percayalah masa depan petani dan lingkungan Indonesia akan rusak berat.
Barangkali itulah sebabnya, para aktivis lingkungan menyebut Monsanto sebagai
global corporate terrorism.
Pemred Newsletter JICA NGO Desk, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar